BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam
proses perkembangannya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan
keturunan untuk meneruskan jenisnya. Perkawinan sebagai jalan yang bisa
ditempuh oleh manusia untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga bahagia
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan
itu dilaksanakan sekali seumur hidup dan tidak berakhir begitu saja.
Perkawinan bagi
manusia merupakan hal yang penting, karena dengan perkawinan seseorang akan
memperoleh keseimbangan hidup baik secara psikologis, sosial, maupun sosial
biologis. Seseorang yang melangsungkan perkawinan, maka dengan sendirinya semua
kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi.
Perkawinan pada
umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, suku
bangsa, kaya atau miskin, dan sebagainya. Namun tidak sedikit manusia yang
sudah mempunyai kemampuan baik dari segi fisik maupun mental akan mencari
pasangan hidup sesuai kriteria yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia,
perkawinan seharusnya menjadi sesuatu yang bersifat seumuru hidup. Tetapi tidak
semua orang bisa memahami hakikat dan tujuan perkawinan yang seutuhnya yaitu
mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan berumah tangga.
Batas usia dalam
melaksanakan perkawinan sangatlah penting karena didalam perkawinan menghendaki
kematangan psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan
meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung
jawab dalam kehidupan berumah tangga. Perkawinan yang sukses sering ditandai
dengan kesiapan memikul tanggung jawab.
B.
Rumusan Masalah
1.
Faktor-faktor
apakah yang mendorong terjadinya pernikahan usia dini?
2.
Apa
dampak yang dialami mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia muda?
3.
Bagaimana pernikahan dini dalam Pandangan I islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pernikahan Dini
Pernikahan dini yaitu Melaksanakan
pernikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua. Bagi laki-laki
yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa hukumnya
menurut syara’ adalah sunnah (mandub). Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Wahai para
pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan
lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu,
hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi
“para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy
syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum
wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu
jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim
Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang
telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah).
Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al
mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi
seorang laki-laki .
Adapun menikah dini bagi anak perempuan yang masih
kecil (belum haid) hukumnya boleh (mubah) secara syar’i dan sah. Dalil
kebolehannya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dalil
Al-Qur`an adalah firman Allah SWT :
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum
haid.” (QS Ath-Thalaq [65] : 4).
Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia dini atau remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya?
Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir.
Bahwa pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang
berujung perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang
masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan
Dini” yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang,
bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk
menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh
sinetron tersebut.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Dini
Beberapa faktor penyebab terjadinya pernikahan dini menurut para ahli,
yaitu :
Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab
utama dari perkawinan usia muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga.
b. Tidak
adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi
mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat
kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan
orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya
karena mengikuti adat kebiasaan saja.
Terjadinya
perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
a. Masalah ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis meminta
masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan
anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota
keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan
sebagainya) Selain menurut para ahli di atas,
Faktor Penyebab Pernikahan Dini :
Dari banyak kasus pernikahan dini yang terjadi umumnya disebabkan karena:
Dari banyak kasus pernikahan dini yang terjadi umumnya disebabkan karena:
1. Faktor Pendidikan.
Peran pendidikan anak-anak sangat
mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib
sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah
merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang
putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan
membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya
adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat
kehamilan di luar nikah.
Disini, terasa betul makna dari
wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia 6 tahun,
maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak tersebut sudah berusia 15
tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun (syukur jika di kemudian hari
bertambah menjadi 12 tahun), maka akan punya dampak yang cukup signifikan
terhadap laju angka pernikahan dini.
2. Faktor Pemahaman Agama.
Disebutkan ini sebagai pemahaman
agama, karena ini bukanlah sebagai doktrin. Ada sebagian dari masyarakat kita
yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah
terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan
mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
Ada satu kasus, dimana orang tua
anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan
satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal
tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelishakim menanyakan anak wanita
yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak
keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi.
Tapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka.
Bahwa perbuatan anak yang saling sms dengan anak laki-laki adalah merupakan
“zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap
berzina.
3. Faktor telah melakukan hubungan biologis.
Ada beberapa kasus, diajukannya
pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami
istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera
menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah
tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib. Tanpa mengenyampingkan perasaan
dan kegalauan orang tua, saya menganggap ini sebuah solusi yang kemungkinan di
kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak kita sudah melakukan
suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang
tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena
sangat besar di kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi
konflik.
4. Hamil sebelum menikah
Hal ini dipisahkan dari faktor
penyebab di atas, karena jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan
hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada
beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju
dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan
terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut. Bahkan ada kasus, justru
anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena
terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi
kawin.
Ini semua tentu menjadi hal yang
sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang
menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang
akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang
diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona
perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa
cinta saja kemungkinan di kemudian hari bias goyah,apalagi jika perkawinan
tersebut didasarkan keterpaksaan.
C. Dampak Pernikahan Usia Dini
Dampak perkawinan usia Dini akan menimbulkan
hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan
mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka
masing-masing.
1. Dampak
terhadap suami istri
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang telah
melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui
hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal
tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang
cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.
2. Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain
berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda,
perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang
melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami
gangguan-gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan
anak.
3. Dampak terhadap masing-masing keluarga.
Selain berdampak pada pasangan suami-istri
dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap
masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan diantara anak-anak mereka lancar,
sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila
sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi
adalah perceraian. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka
dan yang paling parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua
belah-pihak.
D. Pernikahan Dini Dalam Pandangan Islam
Jika
menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25,
maka bagaimana dengan agama? Rasulullah SAW. bersabda,
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
Hadits
di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu?
Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah
mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh
bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita)
atau telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Pesan
Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan
sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki
potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Rasulullah SAW, 19 abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda
yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang
shalihah. Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang
takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi
sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, Kita tak perlu risih dengan yang urusan
yang begitu krusial dalam sebuah rumah tangga ini. Bukankah Allah telah
menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam surat al-Nur
ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya kaya
dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya,
“Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah”.
Islam telah memberi keluasan bagi siapa saja yang sudah memiliki
kemampuan untuk segera menikah dan tidak mudur untuk melakukan pernikahan. Bagi
mereka yang sudah mampu bagaimana yang akan dapat menghantarkannya kepada
perbuatan haram (dosa) karena selain itu.Rasulullah telah memberikan panduan
bagi laki-laki kapan saja untuk mencari pasangan yang memiliki potensi
kesuburan untuk memiliki banyak keturunan.Bagaimana Rasulullah menjelaskan
sangat mengingatkan umatnya nanti diyoumilakhir adalah umat yang terbanyak yang
dapat beliau banggakan.Bagaimana islam juga telah mengatur bahwa setiap anak
memiliki rizki tersendiri,dimana Allah swt telahmemberikan rizki kepada
binatang..Apalagi seorang anak manusia yang mempunyai kedudukan yang lebih
mulia, mengapa karena anjuran untuk memiliki banyak keturunan tidalah bermaksa
Islam. Dimana akan melantarkan mereka, tetapi Islam juga teiah menjelaskan
hak-hak anak a p a yang harus dipenuhi baik berupa kebutuhan pokok (fisi,psikis
dan intelektualnya) bagaimana yang dibebankan kepada orangtua, kerabat/wali,
dan negara.
III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari
satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah
dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah
pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini
dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk
melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur. Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Menikahlah kamu diusia yang cukup matang. Idealnya untuk
perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia
itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik
dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang.
Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat,
hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis
emosional, ekonomi dan sosial.
Menyegerakan nikah merupakan
perkara yang baik dan penuh kemaslahatan, tetapi tergesa-gesa dalam menikah
dapat mendatangkan keburukan. Sebaiknya harus ada kesiapan secara lahir maupun
batin. Apabla kita telah menemukan pasangan yang dirasa bisa mendampingi
langkah kita untuk menggapai Ridhonya dan kita telah mempunyai kesiapan secara
lahir maupun batin sebaiknya menikahlah.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2010).
Djamali, Abdul, Hukum
Islam. (Bandung: Mandar Maju, 1992).
UU Perkawinan di www.depag.go.id .
Ibrahim, al Bajuri vol. 2 (Semarang : Toha Putra, 2008).
Jaka, Kamus Bahasa Indonesia. (Bandung:
Pustaka Abadi, 2005).
Arif Rahman, Halaqah Cinta,
(Jakarta: Teladan Rasul, 2014).
Ahmad Rifai, The Perfect
Muslimah, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2014).
Ingat sekali ketika Presentasi Makalah ini,,,
BalasHapus