BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jikalau saat ini kita
berfikir, bagaimana bisa kita meyakini Allah sebagai Tuhan kita dengan
sendirinya, tanpa petunjuk apapun? Mungkin kita berfikir alam akan menunjukkan
kepada kita tentang hal tersebut? Tapi apakah betul kita mengetahui Allah
sebagai Tuhan kita betul-betul dari proses pengamatan terhadap alam? Faktanya
setelah kita mengetahui Allah adalah tuhan kita pun, terkadang kita melupakan
bahwa alam itu ciptaan Allah yang mesti kita jaga.
Ada hal atau faktor
lain yang menyebabkan kita mengenal Allah, yaitu dari perkataan Allah SWT yang
terkumpul dalam kitab-kitab-Nya yang berfungsi sebagai petunjuk bagi kita semua
manusia. Lantas timbul pertanyaan selanjutnya, pada siapakah Allah menurunkan
wahyu yang merupakan perkataan Allah tersebut? Mengapa bukan kepada kita
langsung? Bukankah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu? Tentu hal itu adalah
mudah bagi Allah, jika Allah berkehendak. Hanya Allah yang mengetahui
alasannya. Akan tetapi kita selaku manusia bisa berfikir mencari logika yang
menguatkan. Semisal, Allah mengetahui kapasitas masing-masing dari setiap
makhluk yang Ia ciptakan, sehingga Allah hanya memilih beberapa dari manusia
yang sanggup atau dapat menerima wahyu atau perkataan Allah tersebut. Atau
kembali kepada asumsi dasar, karena Allah Maha kuasa atas segala sesuatu dan
Maha berkehendak, kehendak Allah-lah yang akan terjadi, yaitu Allah memberi
petunjuk kepada manusia melalui perantara manusia pilihan yang biasa kita sebut
Rasulullah.
Oleh karena itu, dalam
hal petunjuk Ilahiyah, Rasul sangat berjasa dalam transformasi nilai dan ajaran
yang berasal dari Allah tersebut, untuk kita manusia yang beriman. Transformasi
yang pada akhirnya akan terjadi terus menerus, dari satu generasi kepada
generasi berikutnya hingga akhir zaman, meski kita ketahui, bahwa Rasul
terakhir yaitu Rasulullah Muhammad Saw telah lama tiada.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa diantara banyak Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ke-Rasulan?
2.
Apa maksud atau pentafsiran ayat-ayat tersebut?
3.
Apa hikmah yang bisa dipetik dari ayat-ayat tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Nabi dan Rasul
Menurut bahasa, nabi berarti orang yang memberi kabar, orang yang
mengkhabarkan hal-hal ghaib, orang yang meramalkan sesuatu. Adapun yang
dimaksud dalam terminologi agama Nabi adalah seorang manusia yang memperoleh
wahyu dari Allah yang berisi syariat, sekalipun tidak diperintahkan untuk disampaikan
kepada manusia lainnya. Jika dia mendapat perintah Allah untuk disampaikan
kepada orang lain, dinamailah dia Rasul. Setiap Rasul itu Nabi, tetapi tidak
setiap nabi itu Rasul.
Di dalam Al-Quran tidak kurang dari 432 kali kata Rasul baik dalam bentuk
tunggal (singular) maupun jamak (plural) disebutkan telah dinyatakan dalam
hadis bahwa jumlah Rasul ada 124.000 orang. Karena itulah kita harus beriman
kepada semua Rasul yang dibangkitkan di India, Lina, Iran, Mesir, Afrika,
Eropa, dan di negeri-negeri lainnya di dunia. Akan tetapi kita tidak dapat
memastikan seseorang di luar daftar para rasul yang nama-namanya
tercantum di dalam al-quran, apakah dia seorang Rasul atau bukan, sebab
kita tidak diberitahu secara pasti tentang dia. Tidak pula kita diizinkan
mengatakan penolakan terhadap orang-orang suci dari agama-agama lain. Sangat
dimungkinkan bahwa sebagian dari mereka adalah para Rasul Allah, dan para
pengikut merekalah yang menyelewengkan ajaran-ajaran mereka setelah mereka
tiada, seperti halnya para pengikut Musa dan Isa as.
Dalam hubungan itu perlu dibedakan Rasul berupa malaikat dengan Rasul
berupa Nabi, selain Rasul dalam bentuk malaikat, di dalam Al-Quran juga tidak
dapat dibedakan antara Nabi dan Rasul, justru nabi-nabi yang tercantum namanya
itu sekaligus sebagai Rasul pula. Firman Allah dalam QS. Al-Hajj (22) ayat 75
yang berbunyi sebagai berikut.
Artinya: “Allah memilih utusan-utusan-Nya dari
malaikat dan dari manusia, Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Melihat”.
Dalam ayat tersebut menyatakan
bahwa Allah berkehendak dan menetapkan memilih dari jenis malaikat dan juga
jenis manusia untuk menjadi utusan-utusan-Nya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa
risalah Illahiyah kerasulan atau kenabian adalah wewenang Allah semata-mata.
2.2 Tujuan Diutusnya Para Rasul
2.2.1 QS. Al-Baqarah (2) ayat
119
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu
(Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni
neraka”.
Menurut Ibnu Katsir
bahwa ayat ini menerangkan sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abbas bahwa lafaz basyiiran ini menunjukkan syurga
sedangkan lafaz nadziiran yakni
neraka. Sedangkan menurut riwayat Abi Hatim yang dimaksud dari ayat ini adalah
utusan-utusan atau Rasul yang sebelumnya.
Sedangkan menurut
Quraish bahwa ayat ini sebenarnya ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW
yang disertai dengan kata yang mengandung pengukuhan. Sesungguhnya dan
penegasan bahwa Kami telah mengutusmu, hai
Nabi Muhammad, dengan haq yakni dengan benar dan membawa kebenaran.
Pemilihan beliau sebagai Rasul adalah benar dan haq. Dengan kata lain, bahwa
risalah dan ajaran-ajaran yang disampaikannya juga adalah benar dan haq, karena
semuanya dari Kami, yakni Allah SWT. Dalam hal ini keengganan mereka untuk
percaya sangat menyedihkan bahkan merisaukan Nabi Muhammad SAW. Karena itulah
Nabi Muhammad diingatkan bahwa engkau hanya kami tugaskan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan ayat
terakhir ini adalah untuk menghibur
beliau dengan ungkapan: “Dan kamu,
wahai Nabi Muhammad, tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang
penghuni-penghuni neraka”. Yakni mereka yang mengingkari risalahmu dan
menolak Al-Qur’an sebagai firman Allah adalah mereka itu menjadi penghuni
neraka. Karena mereka penghuni neraka, maka wajarlah kalau mereka tidak beriman
kepadamu.
Dari paparan di atas
ada perbedaan pendapat dikalangan mufasir, sebagian mengatakan bahwa ayat ini
tidak semata-mata tertuju kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada para
Rasul-Rasul yang sebelumnya. Sebagian mufasir lain mengatakan bahwa ayat ini
sebenarnya hanya tertuju langsung kepada Nabi Muhammad SAW, sekaligus ini
menunjukkan bahwa tidak termasuk Nabi-nabi yang sebelumnya.
2.2.2 QS. Al-Anbiya (21) ayat
45
Artinya : “Katakanlah (hai Muhammad):
"Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan
wahyu dan Tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka
diberi peringatan"
Menurut Quraish bahwa
pada ayat-ayat yang lalu yang menggambarkan sikap kaum musyrikin terhadap Nabi
Muhammad SAW dan ajaran yang beliau sampaikan juga kemenangan kaum muslimin
serta ancaman siksa bagi kaum musyrikin. Maka dalam ayat ini Allah
memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan bahwa apa yang beliau
sampaikan itu adalah bersumber dari Allah dan bukan dari beliau itu sendiri,
karenanya ayat ini menyatakan: Katakanlah,
wahai Nabi Muhammad bahwa sesungguhnya aku tidak memperingatkan kalian dengan
peringatan yang datang dari diriku sendiri tetapi aku hanya memperingatkan kamu
sekalian dengan wahyu yang kuterima dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha
Mengetahui. Karena itulah jangan menuntut hal-hal yang diluar kemampuanku,
seperti menuntut kapan akan datangnya siksa dan lain-lain, dan juga jangan
ragukan informasinya itu. Selanjutnya dalam penggalan ayat yang menyatakan:
Dan tidaklah orang-orang tuli mendengar
seruan apabila mereka diberi peringatan. Kaum musyrikin itu tetap
bersikeras menolak, enggan mendengar tuntunan dan peringatan, dari sini Nabi
dihibur dengan ayat ini bahwa penolakan mereka itu disebabkan karena mereka
orang-orang tuli. Kata tuli disini bukan berarti tidak bisa mendengar, tetapi
tidak mau memanfa’atkan apa yang didengarnya. Maka keadaan itu disamakan dengan
orang tuli yang tidak bisa mendengar sesuatu. Hal ini jelas bahwa yang tidak
mendengar tentu tidak akan memperoleh manfa’at dari apa yang disampaikan
padanya, demikian juga dengan kaum musyrikin.
Dengan demikian
jelaslah bahwa orang-orang musyrik yang mereka enggan serta menolak seruan dari
Nabi Muhammad SAW ini disebabkan mereka tidak mau memanfaatkan apa yang
didengarnya dari Nabi, maka mereka itu adalah orang-orang yang sengaja membuat
diri mereka itu tuli disebabkan tidak mau mendengar seruan dari Nabi Muhammad
SAW. Karena itulah mereka akan merasakan siksa dari Allah untuk memberi
peringatan terhadap mereka itu.
2.2.3 QS. Yasin (36) ayat 11
Artinya: “Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan
kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan
yang Maha Pemurah walaupun Dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar
gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.”
Maksudnya peringatan
yang diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. hanyalah berguna bagi orang yang mau
mengikutinya. Kata ittaba terambil dari kata tabi’a yang berarti mengikuti.
Penambahan huruf ta’ pada kata terseut mengandung makna kesungguhan. Siapa yang
bersungguh-sungguh mengikuti adz-dzikr yani al-quran, maka ia akan
memperhatikan dengan seksama dan meneladani Nabi Muhammad SAW, akan lahir
keimanan yang kukuh dan mantap.
Penggunaan kata
ar-rahman pada ayat ini dan bukan lafadz “Allah” bertujuan menegaskan bahwa
yang dimaksud adalah Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad SAW, bukan Tuhan
yang mereka persekutukan dengan berhala-berhala. Adapun ar-rahman yang
diperkenalkan Rasulullah SAW sebagai salah satu nama Tuhan semesta alam. Kaum
beriman yakni bahwa Dia Maha Pengasih, namun demikian, keyakinan tersebut tidak
menjadi mereka lengah dari sifat-Nya yang lain, seperti jabbar yang artinya
Maha Perkasa lagi muntaqim yang artinya Maha Pembalas Kesalahn
pendurhaka.
2.2.4 QS. An-Nahl (16) ayat
36
Artinya: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.
Menurut Quraish bahwa
ayat ini bertujuan untuk menghibur Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi
pembangkang dari kaumnya. Seakan-akan ayat ini mengatakan: Allah pun telah
mengutusmu. Maka ada diantara umatmu yang menerima dengan baik ajakanmu ada
juga yang membangkang. Keadaan yang engkau alami sekarang ini sama juga dengan
yang dialami bahwa: Sembahlah Allah, yakni
tunduk dan patuhlah dengan penuh pengagungan kepada Tuhan Yang Maha Esa saja,
jangan menyembah selain-Nya, apa dan
siapa pun, danjauhilah Thaghuut, yakni
segala macam apa yang melampaui batas, seperti penyembahan berhala dan
kepatuhan kepada tirani. Ajakan para
Rasul itu telah diakui oleh umat masing-masing Rasul maka diantara mereka, yakni umat para Rasul ada orang-orang yang
hatinya terbuka dan pikirannya jernih sehingga Allah menyambutnya dan dia
diberi petutnjuk oleh Allah, dan ada pula diantara mereka yang keras kepala
lagi bejat hatinya sehingga mereka menolak ajakan Rasul mereka dan dengan
demikian menjadi telah pasti atasnya sanksi kesesatan yang mereka pilih sendiri
itu. Wahai umat Muhammad, jika kamu ragu menyangkut apa yang disampaikan Rasul,
termasuk kebinasaan para pembangkang maka berjalanlah kamu semua di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para pendusta para Rasul.
Kata thaghut terambil
dari kata thagha yang pada mulanya berarti melampaui batas. Ia biasa juga
dipahami dalam arti berhala-berhala, karena penyembahan berhala adalah sesuatu
yang sangat buruk dan melampaui batas. Dalam arti yang lebih umum, kata
tersebut mencakup segala sikap dan perbuatan yang melampaui batas, seperti
kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, dan kesewenang-wenangan terhadap manusia.
Hidayah (petunjuk) yang
dimaksud ayat di atas adalah hidayah khusus dalam bidang agama yang
dianugerahkan Allah kepada mereka yang hatinya cenderung untuk beriman dan
berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Cukup banyak ayat-ayat yang
menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna ini, misalnya:
Artinya: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an)
dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.”. (Q.S. Asy-Syura
(42) ayat 52).
Kedua hidayah
(petunjuk) serta kemampuan untuk melaksanakan isi hidayah itu sendiri. Ini
tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, karena itu ditegaskannya bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk”. (Q.S. Al-Qashash (28) ayat 56)
Allah menganugerahkan
hidayah kedua ini kepada mereka yang benar-benar ingin memperolehnya dan
melangkahkan kaki guna mendapatkannya.
Ketika berbicara
tentang hidayah, secara tegas ayat di atas menyatakan bahwa Allah yang
menganugerahkannya, berbeda ketika menguraikan tentang kesesatan. Redaksi yang
digunakan ayat ini adalah telah pasti atasnya sanksi kesesatan, tanpa menyebut
siapa yang menyesatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesesatan tersebut pada
dasarnya bukan bersumber pertama kali dari Allah SWT, tetapi dari mereka
sendiri. Memang ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa : “Allah menyesatkan siap yang Dia kehendaki”, tetapi kehendak-Nya
itu terlaksana setelah yang bersangkutan sendiri sesat.
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
kaumnya: ‘Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?’ Maka tatkala mereka berpaling
(dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang fasik”. (Q.S. Ash-Shaff (61) ayat 5).
Maksudnya karena mereka
berpaling dari kebenaran, Maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh
dari kebenaran.
2.2.5 Q.S. An-Nisa’ (4) ayat
115
Artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.
SayyidQuthub menyatakan
tentang sebab turunnya ayat 115 ini yaitu berkenaan dengan Basyir bin Ubairiq
yang telah murtad dan menyatakan kemusyrikannya setelah sebelumnya mereka
mendapatkan keterangan dari Rasulullah SAW. Dari 176 ayat yang terkandung dalam
surah an-Nisa’ ini diketahui tidaklah turun sekaligus melainkan secara bertahap
sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Menurut al-Maraghiy
bahwa kandungan dari surah an-Nisa ayat 115-117 ini adalah barang siapa yang
menentang Rasul dengan cara murtad (keluar) dari Islam dan menunjukkan dengan
jelas permusuhan kepadanya, setelah tampak dengan jelas hidayah (petunjuk) pada
ucapannya, dan ditegakkannya argumentasi yang kuat, serta mereka mengikuti
jalan yang tidak sesuai petunjuk, maka kami (Rasul) akan membiarkan mereka itu
berada dalam kesesatan. Lebih lanjut bahwa ayat tersebut menerangkan tentang
sunnahtullah yang berlaku terhadap semua amal perbuatan manusia, serta
penjelasan terhadap apa yang diberikan Allah
kepadanya berupa kehendak, kebebasan dan berbuat berdasarkan pilihannya
sendiri. Sesuatu dari aspek yang dipilihnya untuk dilakukan, itulah pula
(balasan) yang akan diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Amal perbuatan itulah
yang menjadi pemandu dan petunjuk terhadap jalan yang ditempuhnya. Dalam kaitan
ini tidak akan dijumpai kekuasaan Allah yang dipaksakan kepada manusia agar ia
mengerjakan atau meninggalkan perintahnya, hingga ia dimasukkan ke dalam neraka
Jahannam. Mereka masuk ke dalam neraka Jahannam karena perbuatan mereka sendiri.
Dengan demikian,
manusia memiliki kebebasan sendiri untuk memilih perbuatan yang akan
dilakukannya dengan segala akibat yang harus ditanggungnya. Karenanya
orang-orang yang menentang Rasul ini adalah karena pilihannya sendiri, dan
dimasukkannya mereka kedalam neraka Jahannam karena pilihannya sendiri.
Sementara itu Ibnu
Katsir menerangkan bahwa makasud ayat tersebut adalah barang siapa yang
menempuh jalan yang tidak sesuai dengan syariat yang dibawah oleh Rasulullah
SAW maka orang itu termasuk ke dalam orang-orang yang menentang dan berada
dalam jalur penentang, yang dilakukannya dengan sengaja setelah tampak kepada
mereka kebenaran, serta menempuh jalan yang berbeda dengan jalan yang ditempuh
oleh orang-orang yang beriman, maka ia akan dijerumuskan ke dalam neraka
Jahannam.
Dari keterangan
tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa pada intinya ayat-ayat tersebut
berisi tentang ancaman bagi orang-orang yang menentang Rasulullah SAW.
Notabennya mereka sebelumnya telah memeluk Islam serta telah mendapat
penjelasan tentang ajaran Islam tersebut. Maka bagi mereka ini akan dimasukkan
oleh Allah ke dalam neraka Jahannam, yang disebabkan oleh perbuatan mereka itu
sendiri. Namun dibalik kerasnya ancaman Allah tersebut tidak berlaku bagi
orang-orang yang selalu mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW,
mereka akan mendapat pujian dari Allah atas ketaatan mereka itu, sebagaimana
Allah telah memuji akhlak Rasulullah yang sangat agung itu.
2.3 Misi Ajaran Seluruh Rasul
2.3.1 Q.S. Ibrahim (14) ayat
4
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun,
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Ini merupakan bagian
dari kasih saying Allah kepada makhluk-Nya bahwa Dia mengutus Rasul-rasul dari
kalangan mereka sendiri dan dengan menggunakan bahasa mereka supaya mereka
dapat memahami risalah yang dibawa oleh para Rasul . hal ini seperti diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Abi Dzar, dia berkata bahwa, Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “Tidaklah Allah azza wa jalla
mengutus seorang Nabi kecuali dengan bahasa kaumnya”. (HR. Ahmad)
Dalam menafsirkan ayat
ini Quraish mengatakan bahwa kesesatan yang mereka lakukan bukanlah berarti
tidak jelasnya tuntunan atau kurangnya informasi yang mereka terima. Betapa
tuntunan kami kurang atau tidak jelas,
padahal berkali-kali dan beraneka ragam penyampaian tuntunan itu dan disamping
itu tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun sejak dari yang pertama sampai
yang terakhir, kecuali dengan bahasa lisan dan pikiran sehat kaumnya supaya Dia
(Rasul) itu dapat menjelaskan dengan gamblang melalui bahasa lisan dan
keteladanannya kepada mereka tuntunan-tuntunan Kami itu. Maka ada diantara kaum yang mendengar
penjelasan Rasul itu yang membuka mata hati dan pikirannya sehingga diberi
kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan petunjuk-Nya dan ada juga yang menutup
mata hatinya sehingga ia menjadi sesat. Memang Allah menyesatkan siapa yang
dikehendakinya untuk Dia sesatkan bila yang bersangkutan memilih kesesatan dan
akan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki bila yang bersangkutan ingin
memperoleh petunjuk dan Dialah Tuhan Yang Maha Perkasa yang tidak dapat
dielakkan ketetapan-Nya lagi Maha Bijaksana dalam segala perbuatan-Nya.
Menurut Quraish bahwa
ayat ini bukan berarti bahwa Rasulullah SAW hanya diutus untuk kaum yang
berbahasa Arab. Ayat ini turun untuk menjawab dalil kaum musyrikin mekkah yang
mempertanyakan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab padahal kitab-kitab suci
lainnya tidak berbahasa Arab. Disisi lainnya memang sangat wajar bahwa setiap
Rasul menjelaskan tuntunan Ilahi dalam bahasa sasaran dakwanya, karena umat
dituntut untuk memahami dan menjalankan tuntunan Ilahi, bukan hanya menerima
tanpa memahaminya.
Dengan demikian jelas
bahwa Rasul yang diutus itu bukanlah untuk kaum yang berbahasa Arab saja,
karenanya ayat ini sebagai penjelasan bagi kaum musyrikin Mekkah yang
mempertanyakan mengapa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab sedangkan kitab
yang lainnya tidak berbahasa Arab.
2.3.2 QS. Fathir (35) ayat 24
Atinya: “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan
membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang
pemberi peringatan”.
Karena tugas Nabi
Muhammad SAW selain memberi peringatan juga membawa berita gembira, maka ayat
ini melanjutkan dengan menyatakan bahwa: sesungguhnya
kami mengutusmu kepada seluruh umat manusia dengan haq yakni perutusan yang
haq lagi membawa kebenaran serta dari sumber Yang Haq yakni Allah SWT, engkau
adalah pembawa berita gembira bagi yang taat dan pemberi peringatan bagi yang
durhaka. Dan tidak ada satu pun dari umat yang terdahulu melainkan telah berlalu
yakni telah datang padanya seorang pemberi peringatan baik sebagai nabi atau
rasul yang ditugaskan langsung oleh Allah, maupun sebagai penerus ajaran Nabi
dan Rasul.
Thabathaba’I menjadikan
firman-Nya wa in min ummatin illa khala fiha nadzir yang artinya dan tidak ada
satu umat pun melainkan telah berlalu padanya seorang pemberi peringatan,
menjadikannya sebagai bukti bahwa setiap generasi masa lalu telah didatangi oleh
seorang Rasul. Ini karena ulama itu memahami kata nadzir dalam arti “Rasul”
yang menyampaikan berita gembira dan peringatan. Memang tulisannya tidak harus
nabi itu berasal dari anggota masyarakat yang ada, karena ayat ini tidak
menggunakan kata minba yang artinya dari mereka tetapi fiha yakni di dalam
masyarakat mereka.
Menurut Quraish bahwa
karena Nabi Muhammad SAW selain memberi peringatan juga membawa berita gembira,
ayat ini menyatakan bahwa: Sesungguhnya Kami mengutusmu kepada seluruh umat
manusia dengan haq yakni perutusan yang haq lagi membawa kebenaran serta
membawa berita gembira bagi yang taat dan memberi peringatan bagi yang durhaka.
Dan tidak ada satu umat pun dari umat yang terdahulu melainkan telah berlalu,
yakni telah datang padanya seorang pemberi peringatan baik Dia Nabi maupun
Rasul yang ditugaskanlangsung oleh Allah maupun sebagai penerus ajaran Nabi dan
Rasul. Maka jika mereka menyambut baik ajaran yang engkau sampaikan,
berbahagialan mereka, dan jika mereka mendustakanmu, maka bersabarlah
mengahdapi mereka sebagaimana Rasul-Rasul sebelummu karena sesungguhnya telah
mendustakan pula kebenaran orang-orang yang sebelum mereka, yakni sebelum
generasi kaum musyrikin Mekkah itu telah mendustakan pula kebenaran yang
disampaikan Rasul-Rasul mereka, kepada mereka telah datang Rasul-Rasul mereka masing-masing dengan membawa
keterangan-keterangan yakni mukjizat serta bukti-bukti kebenaran yang nyata,
yang membuktikan kebenaran mereka sebagai Rasul dan sebagian pula membawa kitab
Zabur, yakni ketetapan-ketetapan hukum dan nasehat-nasehat yang menyentuh hati,
dan sebagian yang lain membawa kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.
Dengan demikian
jelaslah bahwa ayat ini menerangkan tentang Rasul-Rasul yang diutus oleh Allah
kepada kaum musyrikin Mekkah yang enggan mengikuti kebenaran yang
disampaikannya, yakni membawa berita gembira bagi yang taat, sedangkan bagi
yang durhaka para Nabi itu senantiasa memberikan peringatan kepada mereka itu,
agar kembali kepada kebenaran.
2.3.3 QS. Al-Mu’min 78
Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu
sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.
Persoalan ini memiliki
banyak latar belakang. Allah mengisahkan sebagiannya di dalam kitab panjang
yang mengantarkan yang jelas dan yang memiliki rambu-rambu. Juga isyarat
tentang jalan ditegaskan oeh sunnah terdahulu yang berlaku dan tidak dapat
diingkari, serta penjelasan tentang hakikat risalah, fungsi Rasul, dan
batasan-batasannya dengan sangat jelas.
Allah juga hendak memberikan
pengertian kepada manusia ihwal hakikat ketuhanan dan kenabian. Mereka
mengetahui bahwa para raasul itu manusia seperti mereka, yang dipilih Allah,
dan ditentukan tugasnya. Mereka tidak mampu dan tidak pernah berusaha untuk
melampaui batas-batas tugas ini. Juga supaya manusia mengetahui bahwa
penangguhan suatu kejadian luar biasa merupakan rahmat bagi mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan
mengenai Nabi dan Rasul tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap Nabi dan
Rasul diutus oleh Allah SWT dengan utusan yang sama yaitu menyampaikan kabar
gembira kepada umat manusia serta memberi peringatan bagi mereka yang pendusta.
Sebagai umat manusia yang beriman tentunya wajib bagi kita untuk mengimani akan
adanya Rasul dan Nabi, baik yang kita ketahui secara umum maupun yang tidak
kita ketahui sebagaimana telah dijelaskan di dalam Al-Quran. Hidup di dunia ini
hanya sementara, di akhiratlah tempat pelabuhan terakhir kita, jadi mari kita
gunakan akal kita dengan cerdas untuk melakukan hal-hal yang bermanfa’at di
dunia ini sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh Rasul kita, karena dengan
selalu mempercayai dan mengamalkan apa-apa yang telah diajarkan oleh Rasul
kepada kita maka kita akan terhindar dari kesesatan.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah
yang singkat ini tentunya ada banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun
dalam penyusunan makalah ini. Oleh sebab itu kritik dan saran dari dosen
pembimbing manupun dari teman-teman sangat saya harapkan demi penyempurnaan
makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Listiawati. 2013. Tafsir Ayat-Ayat Pendidika. Palembang: Rafah Press.
Rahman Dahlan Abdullah.
2010. Kaidah-Kaidah Tafsir. Jakarta:
Sinar Grafika Offset.
Syed Mahmudunnasir. 1984. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Cetakan
Kedua. Jakarta: Bulan Bintang.
Abuddin Nata. 2014. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta :Amzah.
Muhammad Hussein Adz-Dzahabi. 2009. Ensiklopedia Tafsir At-Tafsir
Wal-Mufassirun. Jakarta : Kalam Mulia
syukron kak sangat bermaanfaat sekali pembahasannya :D
BalasHapus