Selasa, 03 November 2015

TAFSIR AYAT TENTANG KERASULAN DAN KENABIAN

Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur'an Tentang Kerasulan dan Kenabian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Jikalau saat ini kita berfikir, bagaimana bisa kita meyakini Allah sebagai Tuhan kita dengan sendirinya, tanpa petunjuk apapun? Mungkin kita berfikir alam akan menunjukkan kepada kita tentang hal tersebut? Tapi apakah betul kita mengetahui Allah sebagai Tuhan kita betul-betul dari proses pengamatan terhadap alam? Faktanya setelah kita mengetahui Allah adalah tuhan kita pun, terkadang kita melupakan bahwa alam itu ciptaan Allah yang mesti kita jaga.
Ada hal atau faktor lain yang menyebabkan kita mengenal Allah, yaitu dari perkataan Allah SWT yang terkumpul dalam kitab-kitab-Nya yang berfungsi sebagai petunjuk bagi kita semua manusia. Lantas timbul pertanyaan selanjutnya, pada siapakah Allah menurunkan wahyu yang merupakan perkataan Allah tersebut? Mengapa bukan kepada kita langsung? Bukankah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu? Tentu hal itu adalah mudah bagi Allah, jika Allah berkehendak. Hanya Allah yang mengetahui alasannya. Akan tetapi kita selaku manusia bisa berfikir mencari logika yang menguatkan. Semisal, Allah mengetahui kapasitas masing-masing dari setiap makhluk yang Ia ciptakan, sehingga Allah hanya memilih beberapa dari manusia yang sanggup atau dapat menerima wahyu atau perkataan Allah tersebut. Atau kembali kepada asumsi dasar, karena Allah Maha kuasa atas segala sesuatu dan Maha berkehendak, kehendak Allah-lah yang akan terjadi, yaitu Allah memberi petunjuk kepada manusia melalui perantara manusia pilihan yang biasa kita sebut Rasulullah.
Oleh karena itu, dalam hal petunjuk Ilahiyah, Rasul sangat berjasa dalam transformasi nilai dan ajaran yang berasal dari Allah tersebut, untuk kita manusia yang beriman. Transformasi yang pada akhirnya akan terjadi terus menerus, dari satu generasi kepada generasi berikutnya hingga akhir zaman, meski kita ketahui, bahwa Rasul terakhir yaitu Rasulullah Muhammad Saw telah lama tiada.
      1.2  Rumusan Masalah
1.         Apa diantara banyak Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ke-Rasulan?
2.         Apa maksud atau  pentafsiran ayat-ayat tersebut?
3.         Apa hikmah yang bisa dipetik dari ayat-ayat  tersebut?



















BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Definisi Nabi dan Rasul
Menurut bahasa, nabi berarti orang yang memberi kabar, orang yang mengkhabarkan hal-hal ghaib, orang yang meramalkan sesuatu. Adapun yang dimaksud dalam terminologi agama Nabi adalah seorang manusia yang memperoleh wahyu dari Allah yang berisi syariat, sekalipun tidak diperintahkan untuk disampaikan kepada manusia lainnya. Jika dia mendapat perintah Allah untuk disampaikan kepada orang lain, dinamailah dia Rasul. Setiap Rasul itu Nabi, tetapi tidak setiap nabi itu Rasul.
Di dalam Al-Quran tidak kurang dari 432 kali kata Rasul baik dalam bentuk tunggal (singular) maupun jamak (plural) disebutkan telah dinyatakan dalam hadis bahwa jumlah Rasul ada 124.000 orang. Karena itulah kita harus beriman kepada semua Rasul yang dibangkitkan di India, Lina, Iran, Mesir, Afrika, Eropa, dan di negeri-negeri lainnya di dunia. Akan tetapi kita tidak dapat memastikan seseorang di luar daftar para rasul yang nama-namanya tercantum  di dalam al-quran, apakah dia seorang Rasul atau bukan, sebab kita tidak diberitahu secara pasti tentang dia. Tidak pula kita diizinkan mengatakan penolakan terhadap orang-orang suci dari agama-agama lain. Sangat dimungkinkan bahwa sebagian dari mereka adalah para Rasul Allah, dan para pengikut merekalah yang menyelewengkan ajaran-ajaran mereka setelah mereka tiada, seperti halnya para pengikut Musa dan Isa as.
Dalam hubungan itu perlu dibedakan Rasul berupa malaikat dengan Rasul berupa Nabi, selain Rasul dalam bentuk malaikat, di dalam Al-Quran juga tidak dapat dibedakan antara Nabi dan Rasul, justru nabi-nabi yang tercantum namanya itu sekaligus sebagai Rasul pula. Firman Allah dalam QS. Al-Hajj (22) ayat 75 yang berbunyi sebagai berikut.
Artinya: “Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia, Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.
Dalam ayat tersebut menyatakan bahwa Allah berkehendak dan menetapkan memilih dari jenis malaikat dan juga jenis manusia untuk menjadi utusan-utusan-Nya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa risalah Illahiyah kerasulan atau kenabian adalah wewenang Allah semata-mata.




2.2  Tujuan Diutusnya Para Rasul
2.2.1     QS. Al-Baqarah (2) ayat 119
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka”.
Menurut Ibnu Katsir bahwa ayat ini menerangkan sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abbas bahwa lafaz basyiiran ini menunjukkan syurga sedangkan lafaz nadziiran yakni neraka. Sedangkan menurut riwayat Abi Hatim yang dimaksud dari ayat ini adalah utusan-utusan atau Rasul yang sebelumnya.
Sedangkan menurut Quraish bahwa ayat ini sebenarnya ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW yang disertai dengan kata yang mengandung pengukuhan. Sesungguhnya dan penegasan bahwa Kami telah mengutusmu, hai Nabi Muhammad, dengan haq yakni dengan benar dan membawa kebenaran. Pemilihan beliau sebagai Rasul adalah benar dan haq. Dengan kata lain, bahwa risalah dan ajaran-ajaran yang disampaikannya juga adalah benar dan haq, karena semuanya dari Kami, yakni Allah SWT. Dalam hal ini keengganan mereka untuk percaya sangat menyedihkan bahkan merisaukan Nabi Muhammad SAW. Karena itulah Nabi Muhammad diingatkan bahwa engkau hanya kami tugaskan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan ayat terakhir ini adalah untuk menghibur  beliau dengan ungkapan: “Dan kamu, wahai Nabi Muhammad, tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka”. Yakni mereka yang mengingkari risalahmu dan menolak Al-Qur’an sebagai firman Allah adalah mereka itu menjadi penghuni neraka. Karena mereka penghuni neraka, maka wajarlah kalau mereka tidak beriman kepadamu.
Dari paparan di atas ada perbedaan pendapat dikalangan mufasir, sebagian mengatakan bahwa ayat ini tidak semata-mata tertuju kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada para Rasul-Rasul yang sebelumnya. Sebagian mufasir lain mengatakan bahwa ayat ini sebenarnya hanya tertuju langsung kepada Nabi Muhammad SAW, sekaligus ini menunjukkan bahwa tidak termasuk Nabi-nabi yang sebelumnya.
2.2.2     QS. Al-Anbiya (21) ayat 45
Artinya : “Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan Tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan"
Menurut Quraish bahwa pada ayat-ayat yang lalu yang menggambarkan sikap kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang beliau sampaikan juga kemenangan kaum muslimin serta ancaman siksa bagi kaum musyrikin. Maka dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan bahwa apa yang beliau sampaikan itu adalah bersumber dari Allah dan bukan dari beliau itu sendiri, karenanya ayat ini menyatakan: Katakanlah, wahai Nabi Muhammad bahwa sesungguhnya aku tidak memperingatkan kalian dengan peringatan yang datang dari diriku sendiri tetapi aku hanya memperingatkan kamu sekalian dengan wahyu yang kuterima dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Karena itulah jangan menuntut hal-hal yang diluar kemampuanku, seperti menuntut kapan akan datangnya siksa dan lain-lain, dan juga jangan ragukan informasinya itu. Selanjutnya dalam penggalan ayat yang menyatakan: Dan tidaklah orang-orang tuli mendengar seruan apabila mereka diberi peringatan. Kaum musyrikin itu tetap bersikeras menolak, enggan mendengar tuntunan dan peringatan, dari sini Nabi dihibur dengan ayat ini bahwa penolakan mereka itu disebabkan karena mereka orang-orang tuli. Kata tuli disini bukan berarti tidak bisa mendengar, tetapi tidak mau memanfa’atkan apa yang didengarnya. Maka keadaan itu disamakan dengan orang tuli yang tidak bisa mendengar sesuatu. Hal ini jelas bahwa yang tidak mendengar tentu tidak akan memperoleh manfa’at dari apa yang disampaikan padanya, demikian juga dengan kaum musyrikin.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang-orang musyrik yang mereka enggan serta menolak seruan dari Nabi Muhammad SAW ini disebabkan mereka tidak mau memanfaatkan apa yang didengarnya dari Nabi, maka mereka itu adalah orang-orang yang sengaja membuat diri mereka itu tuli disebabkan tidak mau mendengar seruan dari Nabi Muhammad SAW. Karena itulah mereka akan merasakan siksa dari Allah untuk memberi peringatan terhadap mereka itu.

2.2.3     QS. Yasin (36) ayat 11
Artinya: “Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun Dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.”
Maksudnya peringatan yang diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. hanyalah berguna bagi orang yang mau mengikutinya. Kata ittaba terambil dari kata tabi’a yang berarti mengikuti. Penambahan huruf ta’ pada kata terseut mengandung makna kesungguhan. Siapa yang bersungguh-sungguh mengikuti adz-dzikr yani al-quran, maka ia akan memperhatikan dengan seksama dan meneladani Nabi Muhammad SAW, akan lahir keimanan yang kukuh dan mantap.
Penggunaan kata ar-rahman pada ayat ini dan bukan lafadz “Allah” bertujuan menegaskan bahwa yang dimaksud adalah Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad SAW, bukan Tuhan yang mereka persekutukan dengan berhala-berhala. Adapun ar-rahman yang diperkenalkan Rasulullah SAW sebagai salah satu nama Tuhan semesta alam. Kaum beriman yakni bahwa Dia Maha Pengasih, namun demikian, keyakinan tersebut tidak menjadi mereka lengah dari sifat-Nya yang lain, seperti jabbar yang artinya Maha Perkasa lagi muntaqim yang artinya Maha Pembalas Kesalahn pendurhaka. 

2.2.4     QS. An-Nahl (16) ayat 36
Artinya: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.
Menurut Quraish bahwa ayat ini bertujuan untuk menghibur Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi pembangkang dari kaumnya. Seakan-akan ayat ini mengatakan: Allah pun telah mengutusmu. Maka ada diantara umatmu yang menerima dengan baik ajakanmu ada juga yang membangkang. Keadaan yang engkau alami sekarang ini sama juga dengan yang dialami bahwa: Sembahlah Allah, yakni tunduk dan patuhlah dengan penuh pengagungan kepada Tuhan Yang Maha Esa saja, jangan menyembah selain-Nya, apa dan siapa pun, danjauhilah Thaghuut, yakni segala macam apa yang melampaui batas, seperti penyembahan berhala dan kepatuhan kepada tirani. Ajakan para Rasul itu telah diakui oleh umat masing-masing Rasul maka diantara mereka, yakni umat para Rasul ada orang-orang yang hatinya terbuka dan pikirannya jernih sehingga Allah menyambutnya dan dia diberi petutnjuk oleh Allah, dan ada pula diantara mereka yang keras kepala lagi bejat hatinya sehingga mereka menolak ajakan Rasul mereka dan dengan demikian menjadi telah pasti atasnya sanksi kesesatan yang mereka pilih sendiri itu. Wahai umat Muhammad, jika kamu ragu menyangkut apa yang disampaikan Rasul, termasuk kebinasaan para pembangkang maka berjalanlah kamu semua di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para pendusta para Rasul.
Kata thaghut terambil dari kata thagha yang pada mulanya berarti melampaui batas. Ia biasa juga dipahami dalam arti berhala-berhala, karena penyembahan berhala adalah sesuatu yang sangat buruk dan melampaui batas. Dalam arti yang lebih umum, kata tersebut mencakup segala sikap dan perbuatan yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, dan kesewenang-wenangan terhadap manusia.
Hidayah (petunjuk) yang dimaksud ayat di atas adalah hidayah khusus dalam bidang agama yang dianugerahkan Allah kepada mereka yang hatinya cenderung untuk beriman dan berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Cukup banyak ayat-ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna ini, misalnya:

Artinya: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”. (Q.S. Asy-Syura (42) ayat 52).
Kedua hidayah (petunjuk) serta kemampuan untuk melaksanakan isi hidayah itu sendiri. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, karena itu ditegaskannya bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Q.S. Al-Qashash (28) ayat 56)
Allah menganugerahkan hidayah kedua ini kepada mereka yang benar-benar ingin memperolehnya dan melangkahkan kaki guna mendapatkannya.
Ketika berbicara tentang hidayah, secara tegas ayat di atas menyatakan bahwa Allah yang menganugerahkannya, berbeda ketika menguraikan tentang kesesatan. Redaksi yang digunakan ayat ini adalah telah pasti atasnya sanksi kesesatan, tanpa menyebut siapa yang menyesatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesesatan tersebut pada dasarnya bukan bersumber pertama kali dari Allah SWT, tetapi dari mereka sendiri. Memang ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa : “Allah menyesatkan siap yang Dia kehendaki”, tetapi kehendak-Nya itu terlaksana setelah yang bersangkutan sendiri sesat.
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?’ Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”. (Q.S. Ash-Shaff (61) ayat 5).
Maksudnya karena mereka berpaling dari kebenaran, Maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh dari kebenaran.
2.2.5     Q.S. An-Nisa’ (4) ayat 115
Artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
SayyidQuthub menyatakan tentang sebab turunnya ayat 115 ini yaitu berkenaan dengan Basyir bin Ubairiq yang telah murtad dan menyatakan kemusyrikannya setelah sebelumnya mereka mendapatkan keterangan dari Rasulullah SAW. Dari 176 ayat yang terkandung dalam surah an-Nisa’ ini diketahui tidaklah turun sekaligus melainkan secara bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Menurut al-Maraghiy bahwa kandungan dari surah an-Nisa ayat 115-117 ini adalah barang siapa yang menentang Rasul dengan cara murtad (keluar) dari Islam dan menunjukkan dengan jelas permusuhan kepadanya, setelah tampak dengan jelas hidayah (petunjuk) pada ucapannya, dan ditegakkannya argumentasi yang kuat, serta mereka mengikuti jalan yang tidak sesuai petunjuk, maka kami (Rasul) akan membiarkan mereka itu berada dalam kesesatan. Lebih lanjut bahwa ayat tersebut menerangkan tentang sunnahtullah yang berlaku terhadap semua amal perbuatan manusia, serta penjelasan terhadap apa yang diberikan Allah  kepadanya berupa kehendak, kebebasan dan berbuat berdasarkan pilihannya sendiri. Sesuatu dari aspek yang dipilihnya untuk dilakukan, itulah pula (balasan) yang akan diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Amal perbuatan itulah yang menjadi pemandu dan petunjuk terhadap jalan yang ditempuhnya. Dalam kaitan ini tidak akan dijumpai kekuasaan Allah yang dipaksakan kepada manusia agar ia mengerjakan atau meninggalkan perintahnya, hingga ia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. Mereka masuk ke dalam neraka Jahannam karena perbuatan mereka sendiri.
Dengan demikian, manusia memiliki kebebasan sendiri untuk memilih perbuatan yang akan dilakukannya dengan segala akibat yang harus ditanggungnya. Karenanya orang-orang yang menentang Rasul ini adalah karena pilihannya sendiri, dan dimasukkannya mereka kedalam neraka Jahannam karena pilihannya sendiri.
Sementara itu Ibnu Katsir menerangkan bahwa makasud ayat tersebut adalah barang siapa yang menempuh jalan yang tidak sesuai dengan syariat yang dibawah oleh Rasulullah SAW maka orang itu termasuk ke dalam orang-orang yang menentang dan berada dalam jalur penentang, yang dilakukannya dengan sengaja setelah tampak kepada mereka kebenaran, serta menempuh jalan yang berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang beriman, maka ia akan dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam.
Dari keterangan tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa pada intinya ayat-ayat tersebut berisi tentang ancaman bagi orang-orang yang menentang Rasulullah SAW. Notabennya mereka sebelumnya telah memeluk Islam serta telah mendapat penjelasan tentang ajaran Islam tersebut. Maka bagi mereka ini akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka Jahannam, yang disebabkan oleh perbuatan mereka itu sendiri. Namun dibalik kerasnya ancaman Allah tersebut tidak berlaku bagi orang-orang yang selalu mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, mereka akan mendapat pujian dari Allah atas ketaatan mereka itu, sebagaimana Allah telah memuji akhlak Rasulullah yang sangat agung itu.
2.3  Misi Ajaran Seluruh Rasul
2.3.1     Q.S. Ibrahim (14) ayat 4
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Ini merupakan bagian dari kasih saying Allah kepada makhluk-Nya bahwa Dia mengutus Rasul-rasul dari kalangan mereka sendiri dan dengan menggunakan bahasa mereka supaya mereka dapat memahami risalah yang dibawa oleh para Rasul . hal ini seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Dzar, dia berkata bahwa, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidaklah Allah azza wa jalla mengutus seorang Nabi kecuali dengan bahasa kaumnya”. (HR. Ahmad)
Dalam menafsirkan ayat ini Quraish mengatakan bahwa kesesatan yang mereka lakukan bukanlah berarti tidak jelasnya tuntunan atau kurangnya informasi yang mereka terima. Betapa tuntunan kami kurang atau  tidak jelas, padahal berkali-kali dan beraneka ragam penyampaian tuntunan itu dan disamping itu tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun sejak dari yang pertama sampai yang terakhir, kecuali dengan bahasa lisan dan pikiran sehat kaumnya supaya Dia (Rasul) itu dapat menjelaskan dengan gamblang melalui bahasa lisan dan keteladanannya kepada mereka tuntunan-tuntunan Kami itu.  Maka ada diantara kaum yang mendengar penjelasan Rasul itu yang membuka mata hati dan pikirannya sehingga diberi kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan petunjuk-Nya dan ada juga yang menutup mata hatinya sehingga ia menjadi sesat. Memang Allah menyesatkan siapa yang dikehendakinya untuk Dia sesatkan bila yang bersangkutan memilih kesesatan dan akan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki bila yang bersangkutan ingin memperoleh petunjuk dan Dialah Tuhan Yang Maha Perkasa yang tidak dapat dielakkan ketetapan-Nya lagi Maha Bijaksana dalam segala perbuatan-Nya.
Menurut Quraish bahwa ayat ini bukan berarti bahwa Rasulullah SAW hanya diutus untuk kaum yang berbahasa Arab. Ayat ini turun untuk menjawab dalil kaum musyrikin mekkah yang mempertanyakan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab padahal kitab-kitab suci lainnya tidak berbahasa Arab. Disisi lainnya memang sangat wajar bahwa setiap Rasul menjelaskan tuntunan Ilahi dalam bahasa sasaran dakwanya, karena umat dituntut untuk memahami dan menjalankan tuntunan Ilahi, bukan hanya menerima tanpa memahaminya.
Dengan demikian jelas bahwa Rasul yang diutus itu bukanlah untuk kaum yang berbahasa Arab saja, karenanya ayat ini sebagai penjelasan bagi kaum musyrikin Mekkah yang mempertanyakan mengapa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab sedangkan kitab yang lainnya tidak berbahasa Arab.
2.3.2     QS. Fathir (35) ayat 24
Atinya: “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan”.
Karena tugas Nabi Muhammad SAW selain memberi peringatan juga membawa berita gembira, maka ayat ini melanjutkan dengan menyatakan bahwa: sesungguhnya kami mengutusmu kepada seluruh umat manusia dengan haq yakni perutusan yang haq lagi membawa kebenaran serta dari sumber Yang Haq yakni Allah SWT, engkau adalah pembawa berita gembira bagi yang taat dan pemberi peringatan bagi yang durhaka. Dan tidak ada satu pun dari umat yang terdahulu melainkan telah berlalu yakni telah datang padanya seorang pemberi peringatan baik sebagai nabi atau rasul yang ditugaskan langsung oleh Allah, maupun sebagai penerus ajaran Nabi dan Rasul.
Thabathaba’I menjadikan firman-Nya wa in min ummatin illa khala fiha nadzir yang artinya dan tidak ada satu umat pun melainkan telah berlalu padanya seorang pemberi peringatan, menjadikannya sebagai bukti bahwa setiap generasi masa lalu telah didatangi oleh seorang Rasul. Ini karena ulama itu memahami kata nadzir dalam arti “Rasul” yang menyampaikan berita gembira dan peringatan. Memang tulisannya tidak harus nabi itu berasal dari anggota masyarakat yang ada, karena ayat ini tidak menggunakan kata minba yang artinya dari mereka tetapi fiha yakni di dalam masyarakat mereka.
Menurut Quraish bahwa karena Nabi Muhammad SAW selain memberi peringatan juga membawa berita gembira, ayat ini menyatakan bahwa: Sesungguhnya Kami mengutusmu kepada seluruh umat manusia dengan haq yakni perutusan yang haq lagi membawa kebenaran serta membawa berita gembira bagi yang taat dan memberi peringatan bagi yang durhaka. Dan tidak ada satu umat pun dari umat yang terdahulu melainkan telah berlalu, yakni telah datang padanya seorang pemberi peringatan baik Dia Nabi maupun Rasul yang ditugaskanlangsung oleh Allah maupun sebagai penerus ajaran Nabi dan Rasul. Maka jika mereka menyambut baik ajaran yang engkau sampaikan, berbahagialan mereka, dan jika mereka mendustakanmu, maka bersabarlah mengahdapi mereka sebagaimana Rasul-Rasul sebelummu karena sesungguhnya telah mendustakan pula kebenaran orang-orang yang sebelum mereka, yakni sebelum generasi kaum musyrikin Mekkah itu telah mendustakan pula kebenaran yang disampaikan Rasul-Rasul mereka, kepada mereka telah datang Rasul-Rasul  mereka masing-masing dengan membawa keterangan-keterangan yakni mukjizat serta bukti-bukti kebenaran yang nyata, yang membuktikan kebenaran mereka sebagai Rasul dan sebagian pula membawa kitab Zabur, yakni ketetapan-ketetapan hukum dan nasehat-nasehat yang menyentuh hati, dan sebagian yang lain membawa kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.
Dengan demikian jelaslah bahwa ayat ini menerangkan tentang Rasul-Rasul yang diutus oleh Allah kepada kaum musyrikin Mekkah yang enggan mengikuti kebenaran yang disampaikannya, yakni membawa berita gembira bagi yang taat, sedangkan bagi yang durhaka para Nabi itu senantiasa memberikan peringatan kepada mereka itu, agar kembali kepada kebenaran.
2.3.3     QS. Al-Mu’min 78
Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.
Persoalan ini memiliki banyak latar belakang. Allah mengisahkan sebagiannya di dalam kitab panjang yang mengantarkan yang jelas dan yang memiliki rambu-rambu. Juga isyarat tentang jalan ditegaskan oeh sunnah terdahulu yang berlaku dan tidak dapat diingkari, serta penjelasan tentang hakikat risalah, fungsi Rasul, dan batasan-batasannya dengan sangat jelas.
Allah juga hendak memberikan pengertian kepada manusia ihwal hakikat ketuhanan dan kenabian. Mereka mengetahui bahwa para raasul itu manusia seperti mereka, yang dipilih Allah, dan ditentukan tugasnya. Mereka tidak mampu dan tidak pernah berusaha untuk melampaui batas-batas tugas ini. Juga supaya manusia mengetahui bahwa penangguhan suatu kejadian luar biasa merupakan rahmat bagi mereka.





BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari hasil pembahasan mengenai Nabi dan Rasul tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap Nabi dan Rasul diutus oleh Allah SWT dengan utusan yang sama yaitu menyampaikan kabar gembira kepada umat manusia serta memberi peringatan bagi mereka yang pendusta. Sebagai umat manusia yang beriman tentunya wajib bagi kita untuk mengimani akan adanya Rasul dan Nabi, baik yang kita ketahui secara umum maupun yang tidak kita ketahui sebagaimana telah dijelaskan di dalam Al-Quran. Hidup di dunia ini hanya sementara, di akhiratlah tempat pelabuhan terakhir kita, jadi mari kita gunakan akal kita dengan cerdas untuk melakukan hal-hal yang bermanfa’at di dunia ini sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh Rasul kita, karena dengan selalu mempercayai dan mengamalkan apa-apa yang telah diajarkan oleh Rasul kepada kita maka kita akan terhindar dari kesesatan.
3.2  Saran
Dalam pembuatan makalah yang singkat ini tentunya ada banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam penyusunan makalah ini. Oleh sebab itu kritik dan saran dari dosen pembimbing manupun dari teman-teman sangat saya harapkan demi penyempurnaan makalah ini kedepannya.





DAFTAR PUSTAKA

Listiawati. 2013. Tafsir Ayat-Ayat Pendidika.  Palembang: Rafah Press.
Rahman Dahlan Abdullah. 2010. Kaidah-Kaidah Tafsir. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Syed Mahmudunnasir. 1984. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Cetakan Kedua. Jakarta: Bulan Bintang.
Abuddin Nata. 2014. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta :Amzah.

Muhammad Hussein Adz-Dzahabi. 2009. Ensiklopedia Tafsir At-Tafsir Wal-Mufassirun. Jakarta : Kalam Mulia  

1 komentar:

KerjaSama Orang Tua dengan Guru Dalam Pembentukan Akhlak siswa Pada Tingkat MI Di Yayasan Wathoniyah 5 ulu Laut Palembang

CONTOH PROPOSAL TESIS PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Agama Islam sangat menjunjung tinggi tingkah laku atau akhlak ya...